Selasa, 01 April 2008

sEpuTar jEpaRa

NAMANYA tersohor sebagai teluk berpelabuhan indah. Penulis Suma Oriental yang singgah, Tom Pires, sempat memuji sebagai tempat labuh terbaik dari sekian banyak yang dikunjungi selama perjalanannya di abad ke-16. Penulis asal Portugis ini mengatakan, pelabuhan tersebut dalam keadaan paling baik dan setiap orang yang akan pergi ke Jawa dan Maluku akan mampir.

TAHUN 1726, seorang ahli sejarah, Domine Francois Valentijn menyimpulkan, Jepara merupakan pelabuhan bagi pedagang kecil di awal berdirinya. Dengan kondisi geografis di pesisir pantai, daerah ini sangat mungkin mengawali sejarahnya sebagai bandar perdagangan berskala kecil.

Putaran roda aktivitas jual beli terus melaju. Bahkan, perdagangan telah menjadi tiang penyangga utama struktur perekonomian wilayah berstatus administrasi kabupaten ini, paling tidak selama enam tahun terakhir (1996-2001). Tak kurang 22 persen dari nilai total perekonomian disumbang oleh kegiatan tersier ini.

Skala niaga yang ada pun beragam, mulai dari eceran hingga ekspor ke mancanegara. Meski hanya memiliki pelabuhan untuk nelayan dan penyeberangan ke Kepulauan Karimunjawa, pengiriman barang ke negara lain terlaksana lewat Pelabuhan Tanjung Emas di Semarang, Tanjung Perak di Surabaya, bahkan melalui Tanjung Priok di Jakarta.

Komoditas yang disalurkan ke luar negeri sebagian besar adalah produk usaha industri, terutama mebel. Tak kurang dari 3.500 unit usaha pengolahan berbahan baku kayu beroperasi di kabupaten ini, mampu menyerap kira-kira 57.000 tenaga kerja-termasuk yang merangkap menjadi petani di musim tanam-di tahun 2001. Investasi yang ditanam terus meningkat, hampir 48 persen per tahun selama kurun 1998-2001. Berbagai model mebel senilai 153 juta dollar AS dikirim ke 68 negara.

Tak dapat dipungkiri bila industri perabot serta kelengkapan rumah tangga dari kayu ini menjadi jantung kegiatan ekonomi sekunder. Nilai yang dihasilkan pun nyaris separuh (48,45 persen) dari nilai total produksi kegiatan industri. Usaha ini tersebar di Kecamatan Kedung, Welahan, Batealit, Jepara, Mlonggo, Bangsri, Pecangaan, Mayong, dan Keling. Sepanjang jalan raya di Kecamatan Tahunan yang menuju Kecamatan Jepara berderet ruang pamer mebel di sisi kiri dan kanan.

Industri berskala kecil pun seakan tak mau kalah dengan industri mebel yang mayoritas berlabel industri besar atau sedang. Usaha pengolahan monel yang berbentuk perhiasan berwarna keperakan berjumlah 124 unit di Kecamatan Pecangaan dan Kalinyamatan mengapalkan produknya ke Australia. Tak hanya itu, industri genteng di Kecamatan Mayong pun mampu memasarkan produknya ke Malaysia.

Hasil industri kecil kerajinan lain umumnya dijual ke luar daerah. Sekitar 90 persen tenun ikat troso yang diproduksi oleh 114 unit usaha di Kecamatan Pecangaan dan Kedung dikirim ke Bali. Bahan baku industri ini dibeli dari luar Jepara, antara lain Solo, Bandung, dan Garut.

Anyaman rotan berwujud keranjang paket dan tutup lampu yang dikerjakan oleh 325 unit usaha juga disalurkan ke kota-kota besar. Dengan rotan dari Surabaya dan Cirebon, usaha di Kecamatan Welahan, Tahunan, dan Jepara ini menyerap sekitar 1.900 tenaga kerja. Tak ketinggalan, industri pakaian jadi di Kecamatan Pecangaan, Kalinyamatan, Nalumsari, dan Mayong menjual produknya ke Pasar Kliwon di Kudus, Tanah Abang di DKI Jakarta, Banyuwangi, bahkan hingga Papua.

Berbagai usaha industri itu sebagian besar lebih terkonsentrasi di Jepara bagian selatan. Di belahan utara, lahan lebih didominasi oleh budi daya perkebunan, kehutanan, serta pertanian tanaman pangan. Karet yang ditanam sekaligus dicetak dalam bentuk lembaran di Perkebunan Beji, Kecamatan Kembang diekspor ke Amerika Serikat, Hongkong, Taiwan, Jepang, Singapura, Malaysia, Rusia, dan negara-negara di Eropa. Nilai ekspornya sekitar 836.000 dollar AS. Kapuk dari pohon randu dikirim ke mancanegara dengan nilai 351.000 dollar AS. Hasil pertanian lain yang laku di pasaran internasional adalah biji cokelat. Hasil budi daya di Kecamatan Keling ini dikapalkan ke Belanda, Singapura, Swiss, dan Thailand.

Sayangnya, pengembangan kegiatan perkebunan terhambat oleh laju aktivitas industri. Giuran upah yang tinggi membuat tenaga kerja memilih menjadi buruh industri. Hanya menghaluskan kayu ukiran, Rp 20.000 per hari ada di kantong. Tak perlu berpanas-panas dan mengeluarkan cucuran peluh di tengah kebun atau ladang. Tak heran, mencari buruh perkebunan saat ini lebih sulit dibanding beberapa tahun lalu.

Tak hanya produk perkebunan yang laku, tanaman pangan pun punya komoditas unggulan. Kacang tanah diminati oleh industri makanan. Kira-kira 40 persen hasil panen diserap pabrik kacang Garuda dan Dua Kelinci di Kabupaten Pati. Meski demikian, sejauh ini belum ada niat pemerintah kabupaten maupun investor membangun pabrik kacang di daerah sendiri. Menjadi pemasok bagi perusahaan kacang sudah cukup untuk saat ini.

Meski dihantui penurunan jumlah petani dan makin terkonversinya lahan persawahan karena desakan industri, niat menjadikan usaha primer ini sebagai andalan tetap dikuatkan. Pemerintah Kabupaten Jepara mencanangkan Gema Kartini (Gerakan Bersama Menuju Petani Mandiri) tahun 2003. Target awal, meningkatkan produktivitas padi setengah ton per hektar. Bila berhasil, gerakan ini akan diteruskan untuk palawija dan hortikultura.

Perikanan patut terus dikembangkan. Saat ini, ada 12 tempat pelelangan ikan-termasuk di Karimunjawa. Sekitar 8.500 nelayan, termasuk juragan dan pekerjanya, menangkap 1.775 ton hasil laut senilai hampir Rp 8 milyar pada tahun 2001. Budi daya air payau/tambak dan penangkapan ikan air tawar di perairan umum menghasilkan masing-masing 2,700 ton dan 1,500 ton.

Tidak ada komentar: